Sengkuni, Bima, dan Diri Kita
Mengapa Sengkuni mati di tangan Bima?
Pada hari ke-17 perang Bharatayuda, Bima menghajar Sengkuni habis-habisan. Mulutnya disobek menjadi dua bagian. Demikian pula tubuhnya diceraiberaikan dan dilempar ke berbagai penjuru mata angin.
Harya Sengkuni adalah patih di kerajaan Hastina. Ia calon raja di Plajasenar tetapi memilih untuk mengabdi pada kakaknya, Dewi Gandari, istri Prabu Destarastra. Kombinasi Sengkuni dan Gandari adalah gabungan kesewenangwenangan mulut dan butanya mata hati. Seperti diketahui, sebagai tanda setianya kepada Destarata yang buta, Gandari menutup matanya dengan kain hitam.
Sengkuni lebih dikenal sebagai mastermind dan ahli strategi yang berada di balik sejumlah aksi licik Kurawa terhadap Pandawa. Nama Sengkuni atau Sakuni, menurut Sri Mulyono, berasal dari kata ‘saka’ (dari) dan ‘uni’ (ucapan). Jadi Sengkuni melambangkan manusia yang sifatnya senang memfitnah, menghasut dan mencelakakan orang lain. Atau lambang orang yang berperangai licik dan kejam.
Naiknya Sengkuni sebagai patih pun melalui jalan curang. Dalam lakon ‘Gandamana Luweng’ dikisahkan bagaimana Sengkuni menyiapkan jebakan luweng (lubang) bagi Patih Gandamana saat mereka berperang melawan Pringgondani. Sengkuni melapor kepada Prabu Pandu Dewanata bahwa Gandamana –yang terkubur dalam luweng– tertangkap musuh. Setelah Pringgondani berhasil diduduki, Sengkuni melaporkan bahwa Gandamana tewas. Maka ia pun diangkat menjadi patih, menggantikan Gandamana.
Sedikitnya ada dua taktik Sengkuni yang mencoba menyingkirkan Pandawa. Dalam lakon ‘Bale Sigalagala’ atau ‘Pandawa Obong’, pihak Pandawa diundang menghadiri pesta dalam bangunan yang bahannya rawan terbakar. Pihak Kurawa lalu membakar bangunan tersebut. Pandawa selamat dibopong Bima mengikuti garangan putih. Dalam lakon ‘Pandawa Dadu’, dengan kelicikan Sengkuni, Pandawa kalah dan harus menyerahkan kerajaan Astina kepada Kurawa. Kedua taktik ini jelas dahsyat, sebuah tipu muslihat yang ampuh, membuat lawan tidak berkutik.
Sebaliknya Bima, utamanya dalam lakon Dewaruci, adalah tokoh yang telah mencapai tahapan marifat. Ia telah mengenal dirinya sendiri dan penciptanya. Sebagai satria pinandita, ia melakukan tapa ngrame agar bermanfaat bagi sesamanya.
Makna nama Bima, menurut Purwadi, adalah sangat setia pada budi satu yang luhur. Kalau sudah menjadi tekadnya, siapa saja akan sulit mempengaruhi, bahkan untuk mencapai cita-cita itu meskipun sampai mati akan ditempuhnya juga.
Maka perkelahian Sengkuni dengan Bima barangkali bisa ditafsirkan sebagai simbol pertempuran antara hawa nafsu dan kesucian. Peperangan yang terus terjadi dalam diri manusia. Hanya dengan meneladani ketekunan, keberanian dan kekuatan tekad seperti Bima yang menempuh jalan kebenaran dan kesucian, manusia bisa mengalahkan Sengkuni di dalam dirinya.
Secara formal tentu saja Sengkuni tidak pernah dipilih sebagai tokoh idola. Bahkan menurut Sri Mulyono, bagi yang percaya, wayang Sengkuni pada akhir pergelaran wayang kulit lakon ‘Baratayuda’ dibungkus kain putih kemudian ‘dilabuh’ untuk diserahkan kepada Nyi Rara Kidul. Sebegitu ‘parahnya’ posisi Sengkuni dalam jagad pewayangan Jawa. Tapi kenyataan menunjukkan bahwa banyak orang, utamanya di dunia politik, mempraktikkan ilmu Sengkuni. Kita pernah membaca atau mendengar, sejumlah proyek pembangunan ditangani dengan dalih untuk kepentingan rakyat, bangsa dan negara tapi sebenarnya demi kepentingan diri dan kelompoknya, bahkan dengan mengorbankan rakyat. Serta memberikan stigma negatif kepada penentang proyek yang menyebabkan penderitaan berkepanjangan.
Di satu sisi, orang memfitnah sebagai jalan pintas. Di sisi lain, dikatakan bahwa orang yang memfitnah ibarat orang yang meludahi langit, akan terkena ludahnya sendiri. Di satu sisi, ada jalan yang menghalalkan segala cara. Di sisi lain, ada keselarasan alam semesta dan hukum karma.
Sengkuni licik dan banyak akal, Bima polos dan lugu. Sengkuni menjilat, Bima berbahasa ngoko dan tidak pernah jongkok. Sengkuni penuh ilusi fitnah dan hasutan, Bima telah mencapai kebenaran sejati.
Dalam Bharatayuda, Bima mengalahkan Sengkuni. Tapi ada yang mengatakan bahwa lantaran serpihan tubuh Sengkuni disebar Bima ke berbagai penjuru maka ‘roh’ Sengkuni pun hidup di mana-mana.
Dikisahkan Dewi Gandari dan Suman berencana dengan segala cara untuk mensukseskan Kurawa menguasai Astina. Singkat cerita datanglah satu kesempatan itu.
Pada suatu hari datanglah utusan Prabu Tremboko (Raja Pringgondani) dan diterima oleh Suman. Maksud kedatangan utusan Prabu Tremboko itu untuk menyampaikan surat persahabatan untuk Pandu, karena hany bisa bertemu dengan Suman dititipkanlah surat itu kepada Suman untuk kemudian diberikan kepada prabu Pandudewanata.
Suman menghaturkan surat Prabu Tremboko pada Pandu, tapi isinya telah diubah bahwa Prabu Tremboko menantang perang Astina. Pandu tak gegabah menyikapinya, diutuslah Patih Gandamana untuk membawa misi damai ke negara Pringgondani
Saat Patih Gandamana berangkat, Suman diam-diam mengerahkan Kurawa lebih dahulu ke Pringgondani dan mengirim surat balasan tantangan perang kepada Prabu Tremboko. Patih Gandamana tidak mengira telah terjadi penyerangan ke Pringgondani oleh Kurawa yang digerakkan oleh Suman. Akhirnya Gandamana diserang oleh pasukan Pringgondani dari depan dan pasukan Kurawa dari belakang. Gandamana tidak melakukan perlawanan.
Hingga akhirnya dengan mudah dijebak dimasukkan ke dalam luweng (lubang tanah yang dalam). Kemudian Suman memerintahkan Duryudana untuk menimbun Gandamana.
Melihat Gandamana tidak melawan maka Raja Tremboko kemudian menolong Gandamana dan meminta penjelasan mengenai apa yang sebenarnya terjadi. Prabu Tremboko kemudian menyerahkan surat palsu Pandudewanata yang dibuat Suman kepada Gandamana sebagai bukti. Di kesempatan lain, Suman telah kembali ke Astina, melaporkan bahwa Gandamana telah gugur dikeroyok oleh pasukan Pringgondani. Akhirnya Suman diangkat menjadi patih oleh Pandudewanata. Sebuah kebijakan yang terburu-buru.
Gandamana kembali ke Astina, tetapi di tengah jalan ditemui oleh Widura. Diberikan penjelasan bahwa Suman melaporkan Gandamana telah gugur dan kini Suman diangkat menjadi patih. Akhirnya Gandamana menghajar Suman hingga babak belur. Jadilah tubuh hancur tersebut sebagai Sengkuni Sengkuni melaporkan kejadian ini kepada kakaknya, Dewi Gandari. Prabu Pandudewanata marah melihat perlakuan Gandamana. Merasa eksistensi Pandu sebagai Raja diabaikan oleh Gandamana. Akhirnya Gandamana menerima marah Pandu, kemudian diminta kembali ke kerajaan Pancalaradya. Widura melapor kepada Pandu apa yang sebenarnya terjadi. Surat palsu Suman/Sengkuni kepada Prabu Tremboko dibaca oleh Pandudewanata. Prabu Pandu menyesal telah terburu-buru memecat Gandamana.
Oleh Adi Wijaya
(Sanggar Karawitan Adi Budoyo Bandung)
Dalang kondang yang kebetulan adalah almarhum kakek saya, pernah menggelar satu episode wayang, pra-Pandawa, dengan judul Gandamana Luweng. Gandamana seorang mahapatih Astina, semasa pemerintah¬an Pandu. Gandamana adalah gambaran seorang ksatria yang jujur, polos, sederhana, adil, penuh pengabdian, dan setia kepada kebenaran. Ia mendapat tugas dari rajanya untuk mencari fakta yang sebenarnya ke Pringgandani. Apakah raja raksasa, Tremboko, benar mengirim surat ke Astina yang berisi sebuah tantangan terhadap Pandu. Nalar Pandu ragu terhadap Tremboko berulah seperti itu.
Sesampai di batas negara Pringgandani, telah terjadi tawur masa antara prajurit Astina dan Pringgandani. Genderang perang bertalu-talu; Gandamana mengibarkan bendera putih, pertanda pembawa misi perdamaian. Agaknya ada penelusup, sekaligus provokator, penggerak amuk masa di kedua belah pihak. Tidak tahu sebab-musababnya, Gandamana telah dihujani berbagai senjata dan dikeroyok habis-habisan. Gandamana sama sekali tidak melawan, sebab yakin ada kesalahpahaman. Gandamana didorong terus ke sebuah sumur jebakan, "luweng." Gandamana terperangkap dan ter¬perosok ke dalam luweng tersebut. Tidak hanya itu, Gandamana ditimbun hidup-hidup dengan bebatuan.
Masa Pringgandani yang brutal dapat dikendalikan dan diundurkan rajanya, Tremboko. Atas bantuan Tremboko pula, Gandamana dapat terselamatkan dari maut. Keduanya, Gandamana dan Tremboko, semakin yakin bahwa ada tangan jahil yang mengeruhkan situasi. Keyakinan itu semakin mantap setelah Tremboko me¬nyerah¬kan surat yang berisi tantangan Pandu terhadap raja raksasa yang sakti itu.
Pada akhir cerita dalang, diketahui bahwa ada sentana Astina, Sengkunilah yang mengatur semuanya, agar terjadi benturan kekuatan antara Pringgandani dengan Astina. Intinya, adalah Sengkuni mencari muka, ngaji pumpung, dan mélik nggéndhong lali. Dalam berbagai kasus di negeri ini, persoalannya tentu tidak sejelas dan semudah seperti alur lakon Gandamana Luweng di atas. Hal ini sangat bergantung pada kecerdasan, ke¬canggih¬an, atau sanggit dalang. Permasalahannya adalah, siapa dalang yang sebenar¬nya, sehingga mampumembikin jagad Nusantara menjadi gonjang-ganjing? Apakah di balik lakon itu terdapat sebuah, atau lebih, tim pembuat huru-hara yang menyusun skenario itu.
Tokoh-tokoh wayang yang lazimnya memiliki tipologi bulat, meski tidak hitam dan putih, nampakkah sekarang? Kalau di masa silam wayang sering dijadikan sebagai simbol, pasemon, dan juga cermin budaya bangsa, apakah masih mampu menjawab dan memberikan gambaran berbagai persoalan yang dihadapi Indonesia modern sekarang? Berkaitan dengan banyak kasus yang melahirkan bermacam-macam masalah rumit, termasuk segala rupa mafia dan makelar di Indonesia kini, siapa yang berperan sebagai tokoh-tokoh utamanya?
Gandamana yang terkorbankan, atau memang pantas dikorban¬kan? Atau orang-orang baik layak untuk dijebak, agar keadilan, kearifan, dan kebajikan tidak merebak. Siapa pula tokoh Nasional yang berkarakter sebagai Sengkuni? Sengkuni yang IQ-nya cerdas tetapi julig, culas, vested interes, penjilat, pengadu domba, khianat, dan ambisius. Siapa pula sebenarnya Prabu Pandu yang berpenampilan kalem, terkesan bijak, tetapi selalu lamban dalam menangani berbagai.permasalahan kini.
Untuk itulah Pandu sering mendapat protes, termasuk adiknya sendiri, Yama Widura. Apalagi setelah Pandu secara sepihak memecat Gandamana, yang dianggap tidak loyal kepada raja. Bahkan Sengkuni yang licik, telah diangkat sebagai mahapatih Astina, pengganti Gandamana. Padahal Gandamana, oleh banyak orang dianggap sangat jujur, tanpa pamrih, dan kesetyaannya terhadap raja dan negara telah teruji.
Di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita sangatlah sulit untuk mengurai permasalahanya. Sebab, semua yang terlibatdengan bermodal kecakapan bicara serta wajah meyakinkan tetapi penuh kepura-puraanberusaha menghindar dari tuduhan dan dakwaan. Jika perlu teman-teman dekat didorong untuk terperosok dalam reka jebakan. Agaknya tokoh Sengkuni, dalam pertunjukan panggung Indonesia, telah berinkarnasi ke jutaan tokoh di mana-mana.
Roh-roh Sengkuni itu telah menyelinap dan menebar di seluruh latar, di bilik-bilik institusi, di kamar-kamar atasan, di sela-sela bicara, di jeruji-jeruji bui, di meja-meja pimpinan lembaga, di sidang-sidang pengadilan, di pansus-pansus markus, di almari-almari dokumen negara, di file-file petinggi seluruh negeri, di perdebatan-perdebatan pemilu, di kampane-kampanye pilkada, dan di mana pun serta kapan saja.
Akibat dari semuanya, sangat langka menemukan tokoh ksatria, negarawan, seperti Gandamana yang tangguh, yang jujur, yang setya, dan yang tidak ambisius. Kesuksesan Sengkuni-Sengkuni di seluruh institusi negeri ini benar-benar sangat menghantui Surti, seorang pesinden amatir, yang aktivis pergerakan kesetaraan jender. Akan diarahkan menjadi apa serta akan dibawa ke mana bangsa dan negeri ini? Gerutu Surti setiap pagi selepas nonton televisi.
Kata dalang: ledhog iliné banyu, air selalu mencari celah untuk mengalir ke bawah. Kalau sumber air di atas keruh, pasti bermuara dengan penuh lumpur polusi yang menjijikkan. Pertanyaan-pertanyaan terus menguntit di relung hati Surti. Apakah negeri ini akan usai pada awal abad ini? Kalau tidak, siapa tokoh ksatria yang mampu me¬mimpin bangsa ini? Cara apa yang tepat untuk memberantas korupsi, kolusi, dan nevotisme yang tiada henti? Apakah semua pejabat negeri ini harus diganti? Siapkah generasi pengganti, untuk bermental suci, adil, dan percaya diri? Sakbeja-bejané wong lali, isih beja wong kang éling lan waspada. Kata mutiara ini sudah lama dilupakan banyak orang dan tidak tahu bagaimana perwujudannya.
0 komentar: