TEMBAKAU SRINTIL
(Sepenggal kisah perjalanan hidup Ki Ageng Makukuhan dalam
menyebarkan agama Islam di Kedu) Kisah sengaja dibuat dalam bentuk narasi untuk
menghemat space, agar yang membaca tak malas. Pada masa awal berdirinya
Kerajaan Demak. Ada seorang pemuda ber-etnis Tionghoa, yang sedang menuntut
ilmu di Pondok Pesantren Glagahwangi pimpinan Sunan Kudus. Nama pemuda tersebut
MA KUW KWAN, namun oleh Sunan Kudus, dia diberi nama baru yakni Syarif Hidayat.
Meski demikian, Sunan Kudus masih sering memanggil dengan nama aslinya, karena
dia memang merupakan salah satu santri kesayangan Sunan Kudus. Karena selain
memang mereka berasal dari etnis yang sama, Ma Kuw Kwan merupakan salah satu
dari sembilan santri Sunan Kudus yang paling tinggi ilmunya. Dalam perjalanan
hidupnya, Ma Kuw Kwan juga pernah menimba ilmu dari Sunan Kalijaga. Yaitu saat
Ma Kuw Kwan harus melarikan diri dari Prajurit Kerajaan Capiturang pimpinan
Gagaklodra yang hendak membunuhnya. Untuk menghilangkan jejak, saat itu Ma kuw
Kwan menggunakan nama samaran Jaka Teguh. Selain mendapat tambahan ilmu agama,
Ma Kuw Kwan juga diajari cara bercocok tanam oleh Sunan Kalijaga, juga beberapa
ilmu kanuragan, termasuk ilmu untuk terbang. Sunan Kalijaga sengaja mengajarkan
cara bercocok tanam, agar Ma Kuw Kwan menyebarkan agama melalui media
pertanian. Sedangkan ilmu kanuragan, memang diperlukan untuk menjaga diri
selama melakukan perjalanan. Setelah dirasa cukup ilmu yang diberikan, Sunan
Kalijaga menugaskan Ma Kuw Kwan untuk menyebarkan agama di daerah Kedu, hingga
akhirnya Ma Kuw Kwan bermukim di Desa Pendang. Disini Ma Kuw Kwan mulai aktif
menyebarkan agama Islam. Meski demikian, sesuai petunjuk Sunan Kalijaga, Ma Kuw
Kwan lebih banyak mengajarkan cara bercocok tanam yang baik. Sedangkan dalam
mengajarkan agama Islam, dia lebih banyak memberikan contoh. Misalnya, saat
tiba waktu dhuhur di sawah, Ma Kuw Kwan tak segan-segan untuk meminta air wudhu
dari warga dan sengaja melaksanakan sholat di tempat terbuka. Tujuannya agar
dilihat orang. Dan saat ada orang yang penasaran dan bertanya tentang yang
dilakukannya. Ma Kuw Kwan menjelaskan bahwa yang dilakukannya adalah berdoa,
memohon berkah dari Tuhan yang Maha Kuasa agar diberikan hasil panen yang
melimpah. Warga memang tak langsung mengikutinya, tetapi saat hasil panen Ma Kuw
Kwan benar-benar melimpah, tak sedikit warga yang minta diajari sholat dan
memeluk agama Islam. Dengan cara yang santun dan membawa manfaat langsung
seperti tersebut diatas, banyak warga yang bersimpati dan mengikuti ajaran Ma
Kuw Kwan. Hingga dalam waktu singkat dia mendapatkan banyak pengikut, nama Ma
Kuw Kwan makin disegani sebagai pemimpin agama yang juga mengajarkan pertanian.
Oleh para pengikutnya, dia mendapat julukan Ki Ageng Kedu, atau juga sering
disebut dengan nama aslinya, Ki Ageng Ma Kuw Kwan, namun lebih mudah dengan
menyebut KI AGENG MAKUKUHAN. Nama harum Ki Ageng Makukuhan akhirnya terdengar
oleh telinga Sunan Kudus. Mengetahui tanah di Kedu sangat subur, Sunan Kudus
mengutus salah satu santrinya yang bernama Bramanti untuk mengirimkan bibit
padi jenis Rajalele dan Cempa, serta bibit tanaman tembakau. Namun setelah
sampai di Kedu dan menyerahkan bibit tanaman yang diberikan Sunan Kudus,
Bramanti tak mau pulang ke Pondok Pesantren Glagahwangi, tetapi memilih
mengabdi pada Ki Ageng Makukuhan. Setelah beberapa waktu, Ki Ageng Makukuhan
mempercayakan Bramanti untuk menggarap tanah di Desa Balongan atau Mbalong,
serta menyebarkan agama disana. Bramanti menyebarkan agama Islam di daerah
Parakan. Seperti halnya Ki Ageng Makukuhan, Bramanti dengan cepat mendapatkan
banyak pengikut hingga oleh para pengikutnya Bramanti diberi gelar Ki Ageng
Parak. Seiring berjalannya waktu, lahan pertanian Ki Ageng Makukuhan makin
luas. Padi jenis Rajalele dan Cempa yang ditanamnya telah banyak digemari oleh
warga masyarakat karena selain pulen, rasanya juga enak. Sedangkan tembakau
digunakan untuk menyelingi tanaman padi saat musim kemarau. Pada saat Ki Ageng
Makukuhan sedang menanam tembakau, sekali lagi datang utusan Sunan Kudus yang
menyampaikan pesan agar Ki Ageng Makukuhan datang menghadap Sunan Kudus, untuk
melaporkan perkembangan penyebaran agama di Kedu, serta hasil panen dari bibit
yang diberikannya. Namun karena bibit tembakau yang belum ditanam masih cukup
banyak, dan khawatir akan layu jika ditinggalkan dalam waktu yang lama, maka Ki
Ageng Makukuhan terlebih dahulu menyelesaikan pekerjaannya, baru kemudian
memenuhi undangan Sunan Kudus. Karena merasa telah terlambat, Ki Ageng
Makukuhan tidak menempuh jalan darat, melainkan terbang menggunakan ilmu yang
diajarkan Sunan Kalijaga. Sesampai di Pondok Pesantren Glagahwangi, Ki Ageng
Makukuhan tak langsung turun, melainkan terbang mengelilingi masjid untuk
mencari tempat pendaratan yang aman. Namun aksinya keburu dilihat oleh Sunan
Kudus. Mengira Ki Ageng Makukuhan sedang pamer ilmu, Sunan Kudus menyuruh salah
satu santrinya untuk melemparkan nyiru/tampah yang berada didekatnya. Namun
bukannya menghindar, Ki Ageng Makukuhan justru menaiki nyiru tersebut untuk
terbang. Marahlah Sunan Kudus melihat kelakuan muridnya itu. Beliau mengambil
kerikil dan dilemparkan kearah Ki Ageng Makukuhan hingga jatuh. Ki Ageng
Makukuhan merasa malu dan memohon maaf pada Sunan Kudus, sembari menjelaskan
duduk persoalannya. Untunglah, Sunan Kudus memaklumi dan memaafkannya.
Malamnya, setelah Ki Ageng Makukuhan melaporkan perkembangan penyebaran agama
yang dilakukannya, beliau juga sempat menjelaskan bahwa bibit padi yang
diberikan oleh Sunan Kudus telah menjadi tanaman yang sangat diminati para
petani. Namun tembakau yang beliau tanam di daerah Kedu, kurang menghasilkan
rasa yang mantab sehingga harga jualnyapun kurang bagus. Ki Ageng Makukuhan
meminta petunjuk Sunan Kudus untuk masalah ini. Sunan Kudus membantu Ki Ageng
Makukuhan mencarikan lokasi yang baik untuk bercocok tanam tembakau. Beliau
mengambil sebuah RIGEN, yaitu anyaman bambu yang tidak terlalu rapat, berbentuk
empat persegi panjang dengan ukuran +/- 2 x 1 m3. Rigen tersebut dilamparkan
oleh Sunan Kudus ke arah Kedu, lalu menjelaskan bahwa lokasi sekitar jatuhnya
Rigen tersebut merupakan tempat yang sangat baik untuk menanam tembakau. Sunan
Kudus juga menjelaskan, jika setelah tembakau ditanam, malam harinya dari tanah
tersebut seperti memancarkan sinar, maka hasil panen dari sawah yang
memancarkan sinar ini akan memiliki kualitas yang sangat istimewa. Belakangan,
RIGEN digunakan oleh masyarakat untuk menjemur tembakau yang sudah dirajang/
diiris tipis-tipis. Dan warga menyebut sawah yang memancarkan sinar sebagai
NDARU RIGEN. Karena mereka beranggapan bahwa tanah mendapatkan berkah dari
rigen yang dilemparkan Sunan Kudus. Setelah kembali ke Kedu, Ki Ageng Makukuhan
mencari lokasi jatuhnya rigen yang dilemparkan Sunan Kudus. Ternyata, rigen
tersebut jatuh di lereng Gunung Sumbing. Saking tingginya ilmu kesaktian Sunan
Kudus, tanah tempat jatuhnya rigen yang dilemparkannya sampai melesak ke dalam
( bhs. Jawa : legok ), kini makin banyak warga yang bermukim di lokasi tersebut
dan telah menjadi sebuah kampung yang diberi nama LEGOKSARI. Kini Legoksari
masuk kedalam wilayah desa Lamuk Kecamatan Tlogomulya Temanggung. Di sinilah Ki
Ageng Makukuhan pertama kali membuka lahan pertanian tembakau di Lereng Gunung
Sumbing - Sindoro. Saat pertama kali akan memulai/wiwit penanaman tembakau, Ki
Ageng Makukuhan mengajak warga sekitar untuk bersama-sama berkumpul di sawah,
karena hendak diajari cara bercocok tanam tembakau, maklumlah, warga memang
belum mengenal tanaman ini sebelumnya. Namun sebelum mengajarkan cara bercocok
tanam, terlebih dahulu Ki Ageng Makukuhan mengajak warga untuk mengadakan selamatan,
yaitu berdoa bersama memohon berkah dari Tuhan Yang Maha Kuasa, agar tembakau
yang mereka tanam bisa memberikan hasil panen yang memuaskan. Acara dilanjutkan
dengan makan bersama sambil menikmati jajanan pasar, buah-buahan dan kopi
kental, minuman kegemaran Ki Ageng Makukuhan. Hal ini sengaja dilakukan
sekaligus untuk menyebarkan agama Islam, tujuan utama Ki Ageng Makukuhan.
Sampai kini, warga masih selalu melakukan acara WIWIT, selain untuk
melestarikan apa yang telah dicontohkan oleh Ki Ageng Makukuhan, juga untuk
mengharapkah berkah dari Tuhan. Sekarang, pada acara tersebut warga masyarakat
membuat TUMPENG ROBYONG. Yaitu tumpeng dari beras hitam yang dibentuk kerucut
menyerupai Gunung, dilengkapi lauk pauk yang lengkap, yaitu ingkung ayam utuh,
pepes teri teri, telur dadar dan lauk pauk lain seperti tempe tahu goreng,
serta jajanan pasar dan buah-buahan, tentu tak ketinggalan kopi kental tanpa
gula, yang kesemuanya itu merupakan menu kegemaran Ki Ageng Makukuhan. Warga
masyarakat akan tumpek blek disawah, tak peduli lelaki perumpuan, tua ataupun
muda, semua melakukan acara memulai musim tembakau, warga menyebutnya AMONG
TEBAL, selain untuk mengharap berkah tentu juga untuk kerukunan antar warga.
Saat tembakau telah dipanen dan dirajang, disinilah letak perbedaan tembakau
dari sawah yang mendapat ndaru rigen dan dari lokasi yang lain. Tembakau dari
tanah biasa jika dirajang akan jatuh dan menyebar/ambyar, sedangkan tembakau
yang berasal dari sawah yang mendapat ndaru rigen, setelah dirajang justru menggumpal
atau nyrintil, maka warga menamakan tembakau jenis ini sebagai TEMBAKAU
SRINTIL. Konon, tembakau srintil ini memiliki kualitas dan rasa yang sangat
istimewa bagi para penikmatnya. Tak heran, harganyapun juga istimewa, bisa
ratusan kali lebih mahal dari harga tembakau biasa. Namun sayangnya, ndaru
rigen tidak selalu terjadi pada setiap musim dan di semua lokasi. Sehingga tak
setiap tahun warga bisa menikmati hasil melimpah dari tembakau srintil. Tapi
bukan tidak mungkin, justru itulah alasan warga tetap melestarikan tradisi
acara wiwit, dengan harapan sawahnya bisa mendapatkan ndaru rigen dan
menghasilkan tembakau srintil. Tuhan memang selalu memiliki cara-Nya sendiri,
agar kita selalu mengingatnya. Yang jelas , saat Tuhan menetapkan segala
sesuatu kepada kita, sesungguhnya Dia telah melibatkan kita dalam sebuah
rencana-Nya. Sekarang tinggal kita yang harus melibatkan Tuhan dalam setiap
rencana kita, agar hasil dari rencana kita tersebut bisa mendapatkan berkah
dari Tuhan dan sesuai dengan apa yang kita harapkan, seperti warga mengharapkan
TEMBAKAU SRINTIL. Tulisan ini disarikan dari berbagai sumber dan mendapat
sedikit sentuhan fiksi dari penulis, dengan tujuan untuk melestarikan cerita
rakyat di Lereng Gunung Sumbing - Sindoro dan bukan dimaksudkan sebagai
biografi Ki Ageng Makukuhan. Penulis tidak melakukan observasi mendalam,
melainkan hanya mencari data di internet. Masukan untuk membuat tulisan ini
lebih "pantas" tentu sangat diharapkan. SALAM.
0 komentar: